JAMUR
Fusarium oxysporum f.sp. cubense PADA TANAMAN PISANG
1.1 Latar Belakang
Pisang
merupakan salah satu komoditas buah-buahan penting di Indonesia. Tanaman pisang merupakan penghasil jenis
buah-buahan yang dikenal luas oleh
penduduk Indonesia, bahkan dunia. Tanaman pisang berperan penting dalam
perekonomian masyarakat, terutama di daerah sentra produksi. Dibandingkan dengan tanaman hortikultura dan
buah-buahan lain, harga pisang memiliki harga relatif lebih stabil (Sinaro,
2007).
Pisang
menyumbang 50% total produksi buah nasional. Agribisnis pisang di Indonesia menghadapi
beberapa kendala salah satunya yaitu adanya penyakit tanaman. Salah satu penyakit yang paling utama dan
paling banyak menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah penyakit layu
Fusarium (penyakit panama) yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense
(Foc) (Ika, 2007).
Layu fusarium
atau penyakit Panama dikenal secara luas sebagai salah satu penyakit yang sangat
merusak. Sejak pertama kali dikenali di Australia
pada tahun 1874(Bancroft, 1876; Ploetz, 1994; Moore et al., 1996 dalam
Hermanto dan Setyawati, 2002), sekarang telah dilaporkan terdapat di seluruh
wilayah pertanaman pisang di dunia kecuali Papua Nugini, Kepulauan Pasifik
Selatan dan beberapa negara sepanjang perbatasan Mediterania (Wardlaw, 1972,
Nurhadi et al., 1994, Kungu, 1995, Djatnika et a!., 2000 dalam
Hermanto dan Setyawati, 2002).
Penyakit
layu fusarium merupakan penyakit yang sulit dikendalikan karena patogennya
merupakan patogen tular tanah. Pengendalian
yang sering dilakukan biasanya dengan menggunakan agens kimia belum mampu
mengendalikan penyakit, karena agens kimia yang digunakan tidak khas terhadap
patogen dan belum mampu mengendalikan patogen yang dapat membentuk struktur
tahan. Hal ini yang menyebabkan agens
pengendali hayati diharapkan mampu mengendalikan patogen tular tanah. Mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai
agens pengendali hayati adalah dari kelompok jamur dan bakteri (Soesanto,
2008).
Dengan
mengetahui bioekologi dari penyakit layu Fusarium
oxysporum f.sp. cubense pada
tanaman pisang, kita dapat mengambil langkah tepat yang bisa mengendalikan jamur
Fusarium oxysporum f.sp. cubense dengan efektif dan efisien
sehingga meminimalkan dampak kerusakan terhadap tanaman pisang.
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui dan berbagi informasi bioekologi dari jamur Fusarium oxysporum f.sp.
cubense pada tanaman pisang.
2. Untuk
mengetahui berbagai cara pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman
pisang.
3. Untuk
menentukan pengendalian yang efektif dan efisien dalam mengendalikan penyakit
fusarium pada tanaman pisang.
II. JAMUR Fusarium
oxysporum f.sp. cubense PADA
TANAMAN PISANG
2.1 Morfologi
Jamur
Fusarium oxysporum f.sp. cubense tergolong dalam :
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Family : Tuberculariaceae
Genus :
Fusarium
Spesies : F. oxysporum f.sp. cubense
Miselium
cendawan ini bersekat terutama terdapat di dalam sel, khususnya di dalam
pembuluh kayu. Disamping itu cendawan
membentuk miselium yang terdapat diantara sel-sel, yaitu dalam kulit dan di
jaringan parenkim di dekat tempat terjadinya infeksi (Semangun, 1994). Pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mula-mula miselium berwarna putih,
semakin tua warna menjadi
krem
atau kuning pucat, dalam keadaan tertentu berwarna merah muda agak ungu.
Miselium bersekat danmembentuk percabangan.
Beberapa
isolat Fusarium akan membentuk pigmen biru atau merah di dalam medium. Di alam cendawan ini membentuk konidium pada
suatu badan buah yang disebut sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai
atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut. Konidiofor bercabang-cabang rata-rata mempunyai
panjang 70 μm. Cabang-cabang samping
biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 μm. Konidium terbentuk pada ujung cabang utama
atau cabang samping. Mikrokonidium
sangat banyak dihasilkan oleh cendawan
pada
semua kondisi, bersel satu atau bersel dua, hialin, jorong atau agak memanjang,
berukuran 5 – 7 x 2.5 – 3 μm, tidak bersekat atau kadang-kadang bersekat satu
dan berbentuk bulat telur atau lurus (Sastrahidayat, 1992).
Makrokonidia
hanya terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat
padakonidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3 – 5, berbentuk
fusiform,sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki
berbentukpediselata, umumnya bersepta 3,dan berukuran (27 – 46)x3,0 – 4,5 μm. Khlamidospora terdapat dalam hifa atau dalam
konidia, berwarna hialin,berdinding halus hingga agak kasar, berbentuk semi
bulat dengan diameter 5,0 x 15 μm, terletak terminal atau interkalar, dan
berpasangan atau tunggal. Spesies ini
kosmopolit dan termasuk saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen pada
banyaktumbuhan, mempunyai arti ekonomi penting dan dapat tumbuh dalam
lingkungan anaerob (Gandjar, 1999).
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur
Foc
Cendawan
Fusarium oxysporum f.sp. cubense sangat sesuai pada tanah dengan
kisaran pH 4,5 – 6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6 – 8,4;
sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH
di bawah 7,0 adalah 5 – 20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang
mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah
7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan
terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense adalah 20 oC dan 30 o
C, maksimum pada 37o C atau di bawahnya, minimum sekitar 50 ºC,
sedangkan optimum untuk pensporaan adalah 20 – 25 0 C.
2.3 Daur Hidup Jamur Foc
Daur
hidup Fusarium oxysporum f.sp. cubense mengalami fase patogenesis dan
saprogenesis. Pada fase
patogenesis,cendawan hidup sebagai parasit pada tanaman inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup
di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis,
yang dapat menjadi sumber inokulum untukmenimbulkan penyakit pada tanaman lain.
Penyebaran propagul dapat terjadi
melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat pertanian
dan manusia. Penyakit layu fusarium
dapat berkembang di tanah alluvial yang asam. Pada umumnya di tanah geluh yang bertekstur
ringan atau di tanah geluh berpasir penyakit dapat meluas dengan lebih cepat. Inokulum F.
oxysporum f.sp. cubense terdiri atas makrokonidia, mikrokonidia, klamidospora dan
miselia. Cendawan dapat bertahan lama di
dalam tanah.
2.4 Gejala Serangan
Patogen
menyerang jaringan empulur batang melalui akar yang luka atau
terinfeksi.
Batang yang terserang akan kehilangan
banyak cairan dan berubah warna menjadi kecoklatan, tepi bawah daun menjadi
kuning tua (layu), merambat ke bagian dalam secara cepat sehingga seluruh
permukaan daun tersebut menguning. Tangkai
daun patah pada bagian pangkalnya yang berbatasan dengan batang palsu. Kadang-kadang lapisan luar batang palsu
terbelah mulai dari permukaan tanah. Jika
pangkal batang dibelah membujur terlihat garis coklat atau hitam menuju ke
semua arah dari pangkal batang (bongkol) ke atas, melalui jaringan pembuluh
pangkal dan tangkai daun. Apabila
bonggol pisang yang sakit dibongkar akan tampak sebagian besar leher akar
membusuk dan berwarna kehitam-hitaman. Tanaman
yang terserang tidak akan mampu berbuah atau buahnya tidak terisi. Lamanya waktu antara saat terjadinya infeksi
penyakit sampai munculnya gejala penyakit berlangsung kurang lebih 2 bulan (Departemen
pertanian, 2010).
Mekanisme
kelayuan pada tanaman disebabkan oleh cendawan yang dapat hidup di dalam tanah
dapat menyerang tanaman. Selanjutnya
berpenetrasi ke dalam akar, dari akar cendawan tumbuh dan berkembang hingga
mencapai bonggol pisang. Di dalam
bonggol dan pembuluh xilem cendawan ini berkolonisasi dan menginfestasi secara
cepat. Akibatnya akar tanaman dan
bonggol serta pembuluhnya terinfeksi Foc. Infeksi Foc pada tanaman pisang, akan
menganggu proses penyerapan, transportasi airdan zat makanan di dalam tanah, sehingga
tanamanmenjadi layu dan akhirnya mati (Maimunah,1999).
Gejala
yang paling khas adalah gejala dalam pangkal batang (pseudostem). Jika pangkal
batang dibelah membujur, terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju kesemua
arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal
daundan tangkai. Perubahan warna pada
berkas pembuluh paling jelas tampak pada batang. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah
warna, namun sering sekali akar tanamansakit berwarna hitam dan membusuk (Semangun,
1996). F. oxysporum f.sp.cubense dapat memproduksi asam fusarat, toksin
ini mempengaruhi mitokondria, menghambat enzim katalase serta mempengaruhi sel
yang mengakibatkan kebocoran ion dan kematian sel.
2.5 Ras dan Persebaran
Penyakit
layu Fusarium pertama kali ditemukan menjadi endemik di daerah
Panama
pada tahun 1890 yang kemudian menghancurkan pertanaman pisang
varietas
Gros Michel (AAA) di Amerika Tengah dan Caribbean pada tahun 1950
dan
1960 sekarang penyakit ini sudah banyak ditemukan di daerah tropis maupun
subtropis.
Patogen Panama mempunyai4 ras yaitu ras
1 menyebabkan epidemi
pada
kultivar Gros Michel dan juga menyebabkanpenyakit pada Maqueno
(genom
AAB), Silk (AAB), Pome (AAB), Pisang Awak (ABB), dan hasil hibrida
“I.C.2”
(AAAA). Ras 2 menyebabkan penyakit pada
jenis pisang masak seperti
kultivar
Bluggoe (ABB), dan keturunan tetraploid. Ras 3 menyerang pada
Heliconiaspp.
Di daerah tropis ras 4 paling virulen
yang menyerang pisang jenis
Cavendish.
Ras 4 umumnya menyerang pada tanaman di
daerah dengan suhu
dingin,
stress air dan pada tanah yangmiskin unsur hara (Daly, dkk, 2006). Ras 4 akan merugikan padakultivar Cavendish
dan pisang kultivar
yang
lain yang sebelumnya resisten terhadap ras 1 dan 2.
Di
Indonesia ras 4 dilaporkan di daerah Halmahera, Irian Jaya, Jawa, dan Sumatera.
Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi)
layu Fusarium dapat mencapai 100 km per tahun.
FOC didalam tanah di sebarkan oleh aliran air, dan alat-alat serta mesin
pertanian. Klon tanaman yang rentan
tidak dapat ditanam kembali hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi
FOC. Di dalam tanah FOC bertahan sebagai
parasit pada tanaman gulma yang bukan inangnya. Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang
luka merupakan daerah awal utama dari infeksi
(Ploetz, 2003).
2.6 Pengendalian
Beberapa
pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan cendawan Foc yaitu:
A. Pengendalian Hayati
Cook
dan Baker (1983) mengemukakan bahwa pengendalian hayati dapat dilakukan dengan
beberapa cara misalnyadengan: (a) manipulasi lingkungan; (b) introduksi agens
antagonis; (c) introduksi patogen avirulen dan hipo-virulen alami serta
mikroorganisme endofit untuk menginduksi sistem ketahanan tanaman inang. Pemanfaatan mikroorganisme seperti plant growth promoting rhizobacteria(PGPR),
Gliocladium fimbriatum dan fungi Mikoriza
arbuskula (FMA) sebagai agens biokontrol dalam pengendalian patogen tanaman.
Sinaga
(2002) mengemukakan bahwa Gliocladiumspp.
mempunyai prospek
yang
tinggi sebagai agens biokontrol berbagai patogen yangmerupakan penyebab penyakit
pada berbagai jenis tanaman. hasil penelitiannya , baik pengujian secara invitro
maupun invivo dalam rumah kaca maupun di lapangan menunjukkan bahwa G. Fimbriatum memiliki kemampuan yang
tinggi dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan berbagai patogen terutama
patogen tular tanah seperti F. oxysporum. Gliocladium spp. juga dapat meningkatkan
vigor tanaman jauh lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan Gliocladium spp.
Menurut
Agrios(2005) Gliocladiumspp. dapat digunakan sebagai agens antagonis terhadap
layu Fusarium melalui mekanisme antagonismenya. Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan
oleh Sinaga (2000),diketahui bahwa penggunaan Gliocladium spp. Sebagai
agens biokontrol dilapangan akan lebih optimum bila dikombinasikan dengan
komponen PHT yang lain.
Memanfaatkan
fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang
merupakan asosiasi atau simbiosis antara tanaman dengan cendawan yang
mengkolonisasi jaringan korteks akar selama periode aktif pertumbuhan tanaman. Mikoriza dapat diklasifikasikan menjadi
ektomikoriza dan endomikoriza (Handayanto & Hairiah 2007).
Arbuskel
pada fungi Mikoriza arbuskula (FMA)
membantu dalam mentransfer nutrea (terutama fosfat) dari tanahke sistem
perakaran dan hifa mikoriza diluar akar dapat memberikan keuntungan secara
fisiologis yaitu adanya perlindungan terhadap patogen akar, sepertiFusariumspp.
(Rao, 2004).
Memanfaatkan
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)
yang merupakan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria
(PGPR). Bakteri tersebut mengolonisasi perakaran tanaman (rhizosfer)
yang memiliki kemampuan menekan pekembangan penyakit dan atau meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Nurhadiansyah, 2008). Menurut Kloepper, dkk (1978) mengatakan bahwa
kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya
bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit
seperti siderofor, hidrogen sianida,antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang
bersifat antagonis melawan patogen dan PGPR dapat menyebabkan ketahanan
sistemik tanaman dari serangan patogen. PGPR yang mampu berperan sebagai agens penyebab
ketahanan sistemik tersebut adalah karena perlakuan akar, tanah, atau biji
dengan rhizobakteri
Cara
pengendalian selanjutnya adalah solarisasi tanah yang merupakan salahsatu
metode kultur teknis dalam pengendalian patogen akar (Agrios, 2005). Solarisasi tanah merupakan suatu metode untuk
menaikkan suhu tanahdengan cara menutup permukaan tanah menggunakan plastik
mulsa transparan dalam hal pengendalian patogen tular tanah seperti Foc. Metode tersebut bekerja sesuai dengan efek
greenhouse,
temperatur tanah mencapai suhu 50 – 60 oC pada kedalaman 10 cm. Hal tersebut
sudah cukup besar dalam mengendalikan patogen tular tanah (soil borne) (Horiuchi, 2000).
Solarisasi tanahdapat menurunkan inokulum patogen sehingga akan
mengurangi potensi terjadinyapanyakit (Agrios, 2005).
Menurut
Lisnawita (2003) pengusahaan pengolahan tanah sehat bertujuan
untuk
memperkecil kondisi yang dapat menyebabkan tanaman stres dan
mengurangi
organisme tanah yang merugikan serta meningkatkan organisme
tanah
yang menguntungkan salah satunyadengan metode solarisasi tanah. Solarisasi tanah dilakukan dengan
menutuptanah dengan plasik transparan selama
6
– 8 minggu, sehingga panas matahari terperangkap dan akan menaikkan suhu
tanah.
B. Kultur Jaringan
Menurut
Murashige (1974) dalam Mattjik (2005), mengemukakan bahwa salah satu dari
kegunaan teknik kultur jaringan yaitu untuk memperoleh klon yang bebas
daripenyakit sistemik. Menurut lembaga
laboratotium kultur jaringan SEAMEOBIOTROP (2007) menyatakan bahwa keunggulan
bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit dari anakan adalah
bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti bakteri layu Moko (Pseudomonas solanacearum) dan layu
Panama (Fusarium oxysporum f.sp cubense).
III. KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan yang didapat dari pembuatan makalah ini adalah
1. Fusarium
oxysporum f.sp. cubense
termasuk jamur tular tanah. Patogen
dapat bertahan lama dalam tanah sebagai klamidospora, yang terdapat banyak
dalam akar-akar yang sakit.
2. Hifa
jamur termasuk hifa septat yaitu mempunyai dinding antar sel jamur.
3. Daur
hidup Fusarium oxysporum f.sp. cubense terdiri dari 2 fase yaitu fase
patogenesis dan saprogenesis.
4. Layu
fusarium pada tanaman pisang memiliki gejala khas yaitu jika batang dibelah
atau dipotong, akan terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju kesemua arah,
dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daundan
tangkai.
5. Pengendalian
layu fusarium bisa dengan cara kultur teknis, mekanis, biologi, dan kimia.
6. Pengendalian
yang efektif dan efisien tentu pengendalian terpadu karena akan
berkesinambungan dengan lingkungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agrios, GN. 2005.
Plant Pathology.ed ke-5. New York: Academi Press.
Cook, R. J
& Baker, K. F. 1983. The Nature and
Practice of Biological CoPlant Patogen. The American Phytopathological
Soceity. USA.
Departemen
Pertanian. 2010. Pengendalian Penyakit
Layu pada Tanaman Pisang. http://www.deptan.go.id/teknologi/horti/tpisang2.htm.
Diakses tanggal 10 April 2013.
Gandjar,
I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik
. Depok: Yayasan Obor
Indonesia.
Handayanto,
E & Hairiah K. 2007. Biologi Tanah:
Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Jakarta: Pustaka Adipura.
Hermanto, C
dan Setyawati, T. 2002. Pola Sebaran dan Perkembangan Penyakit Layu Fusarium pada
Pisang Tanduk, Rajasere, Kepok, dan Barangan. J Hort. 12(1):64-70,2002.
7 hlm.
Horiuchi, S.
2000. Soil Solarization for Supressing
Soilborne Disease in Japan. Hirosima.
Ika. 2007. Teknologi pendukung agribisnis pisang.
Ika Blog. http.//ika pisang. Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2013.
Lisnawita.
2003. Pengaruh pengelolaan Sumatera Utara:
USU Digital Library.
Maimunah.
1999. Evaluasi resistensi lima kultivar
pisang (Musa spp.) terhadap tiga macam isolate dan differensiasi isolate
Fusarium oxysporumf.sp.cubenssebagai penyebab penyakit layu. Tesis.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Matjjik, N. A.
2005. Peran Kultur Jaringan dalam
Perbaikan Tanaman. Bogor: IPB Press.
Nurhadiansyah,
D. 2008. Pertumbuhan dan Keragaman Hayati
Bakteri Pemacu pertumbuhan yanaman (Bacillus polymixa BG251) dan Pseudomonas
flourescens Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.
Ploetz, R. C.
2003. Disease of Tropical Fruit Crops.
USA: Cabi Publishing.
Sastrahidayat,
I. R. 1992. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia. 365
Hal.
Sinaro, D. S.
2007. Lampung Atasi Penyakit Pisang. Sinar Harapan 25
Oktober 2007: 5733.
Semangun,
H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman
Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Hal 556
– 56
Semangun, H.
1996. Penyakit-penyakit tanaman
hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sinaga, M. S.
1992. Biokontrol sebagai salah satu
penyakit secara terpadu. Bogor: Makalah disampaikan dalam Seminar
Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia cabang Bogor, 5 November 1992. Bogor.
Faperta, IPB.
Soesanto,
L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.