Friday, 5 December 2014

Jamur Patogen Tumbuhan 2013


JAMUR Fusarium oxysporum f.sp. cubense PADA TANAMAN PISANG



1.1  Latar Belakang

Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan penting di Indonesia.  Tanaman pisang merupakan penghasil jenis buah-buahan yang dikenal luas oleh  penduduk Indonesia, bahkan dunia. Tanaman pisang berperan penting dalam perekonomian masyarakat, terutama di daerah sentra produksi.  Dibandingkan dengan tanaman hortikultura dan buah-buahan lain, harga pisang memiliki harga relatif lebih stabil (Sinaro, 2007).
Pisang menyumbang 50% total produksi buah nasional.  Agribisnis pisang di Indonesia menghadapi beberapa kendala salah satunya yaitu adanya penyakit tanaman.  Salah satu penyakit yang paling utama dan paling banyak menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah penyakit layu Fusarium (penyakit panama) yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) (Ika, 2007).

Layu fusarium atau penyakit Panama dikenal secara luas sebagai salah satu penyakit yang sangat merusak.  Sejak pertama kali dikenali di Australia pada tahun 1874(Bancroft, 1876; Ploetz, 1994; Moore et al., 1996 dalam Hermanto dan Setyawati, 2002), sekarang telah dilaporkan terdapat di seluruh wilayah pertanaman pisang di dunia kecuali Papua Nugini, Kepulauan Pasifik Selatan dan beberapa negara sepanjang perbatasan Mediterania (Wardlaw, 1972, Nurhadi et al., 1994, Kungu, 1995, Djatnika et a!., 2000 dalam Hermanto dan Setyawati, 2002).

Penyakit layu fusarium merupakan penyakit yang sulit dikendalikan karena patogennya merupakan patogen tular tanah.  Pengendalian yang sering dilakukan biasanya dengan menggunakan agens kimia belum mampu mengendalikan penyakit, karena agens kimia yang digunakan tidak khas terhadap patogen dan belum mampu mengendalikan patogen yang dapat membentuk struktur tahan.  Hal ini yang menyebabkan agens pengendali hayati diharapkan mampu mengendalikan patogen tular tanah. Mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati adalah dari kelompok jamur dan bakteri (Soesanto, 2008).



Dengan mengetahui bioekologi dari penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense pada tanaman pisang, kita dapat mengambil langkah tepat yang bisa mengendalikan jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense dengan efektif dan efisien sehingga meminimalkan dampak kerusakan terhadap tanaman pisang.

1.2  Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan berbagi informasi bioekologi dari jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense pada tanaman pisang.
2.      Untuk mengetahui berbagai cara pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang.
3.      Untuk menentukan pengendalian yang efektif dan efisien dalam mengendalikan penyakit fusarium pada tanaman pisang.


II.  JAMUR Fusarium oxysporum f.sp. cubense PADA TANAMAN PISANG
   
2.1  Morfologi

Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense tergolong dalam :
Kingdom         : Fungi
Divisi               : Eumycota
Subdivisi         : Deuteromycotina
Kelas               : Deuteromycetes
Ordo                : Moniliales
Family             : Tuberculariaceae
 Genus             : Fusarium
Spesies            : F. oxysporum f.sp. cubense

Miselium cendawan ini bersekat terutama terdapat di dalam sel, khususnya di dalam pembuluh kayu. Disamping itu cendawan membentuk miselium yang terdapat diantara sel-sel, yaitu dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat tempat terjadinya infeksi (Semangun, 1994).  Pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mula-mula miselium berwarna putih, semakin tua warna menjadi
krem atau kuning pucat, dalam keadaan tertentu berwarna merah muda agak ungu. Miselium bersekat danmembentuk percabangan.

Beberapa isolat Fusarium akan membentuk pigmen biru atau merah di dalam medium.  Di alam cendawan ini membentuk konidium pada suatu badan buah yang disebut sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut.  Konidiofor bercabang-cabang rata-rata mempunyai panjang 70 μm.  Cabang-cabang samping biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 μm.  Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau cabang samping.  Mikrokonidium sangat banyak dihasilkan oleh cendawan
pada semua kondisi, bersel satu atau bersel dua, hialin, jorong atau agak memanjang, berukuran 5 – 7 x 2.5 – 3 μm, tidak bersekat atau kadang-kadang bersekat satu dan berbentuk bulat telur atau lurus (Sastrahidayat, 1992).

Makrokonidia hanya terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat padakonidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3 – 5, berbentuk fusiform,sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentukpediselata, umumnya bersepta 3,dan berukuran (27 – 46)x3,0 – 4,5 μm.  Khlamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin,berdinding halus hingga agak kasar, berbentuk semi bulat dengan diameter 5,0 x 15 μm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal.  Spesies ini kosmopolit dan termasuk saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen pada banyaktumbuhan, mempunyai arti ekonomi penting dan dapat tumbuh dalam lingkungan anaerob (Gandjar, 1999).

2.2  Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Foc

Cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5 – 6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6 – 8,4; sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0.  Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5 – 20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di atas 7.  Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8.  Suhu optimum untuk pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense adalah 20 oC dan 30 o C, maksimum pada 37o C atau di bawahnya, minimum sekitar 50 ºC, sedangkan optimum untuk pensporaan adalah 20 – 25 0 C.


2.3  Daur Hidup Jamur Foc

Daur hidup Fusarium oxysporum f.sp. cubense mengalami fase patogenesis dan saprogenesis.  Pada fase patogenesis,cendawan hidup sebagai parasit pada tanaman inang.  Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber inokulum untukmenimbulkan penyakit pada tanaman lain.  Penyebaran propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat pertanian dan manusia.  Penyakit layu fusarium dapat berkembang di tanah alluvial yang asam.  Pada umumnya di tanah geluh yang bertekstur ringan atau di tanah geluh berpasir penyakit dapat meluas dengan lebih cepat.  Inokulum F. oxysporum  f.sp. cubense terdiri atas makrokonidia, mikrokonidia, klamidospora dan miselia.  Cendawan dapat bertahan lama di dalam tanah.

2.4  Gejala Serangan

Patogen menyerang jaringan empulur batang melalui akar yang luka atau
terinfeksi.  Batang yang terserang akan kehilangan banyak cairan dan berubah warna menjadi kecoklatan, tepi bawah daun menjadi kuning tua (layu), merambat ke bagian dalam secara cepat sehingga seluruh permukaan daun tersebut menguning.  Tangkai daun patah pada bagian pangkalnya yang berbatasan dengan batang palsu.  Kadang-kadang lapisan luar batang palsu terbelah mulai dari permukaan tanah.  Jika pangkal batang dibelah membujur terlihat garis coklat atau hitam menuju ke semua arah dari pangkal batang (bongkol) ke atas, melalui jaringan pembuluh pangkal dan tangkai daun.  Apabila bonggol pisang yang sakit dibongkar akan tampak sebagian besar leher akar membusuk dan berwarna kehitam-hitaman.  Tanaman yang terserang tidak akan mampu berbuah atau buahnya tidak terisi.  Lamanya waktu antara saat terjadinya infeksi penyakit sampai munculnya gejala penyakit berlangsung kurang lebih 2 bulan (Departemen pertanian, 2010).

Mekanisme kelayuan pada tanaman disebabkan oleh cendawan yang dapat hidup di dalam tanah dapat menyerang tanaman.  Selanjutnya berpenetrasi ke dalam akar, dari akar cendawan tumbuh dan berkembang hingga mencapai bonggol pisang.  Di dalam bonggol dan pembuluh xilem cendawan ini berkolonisasi dan menginfestasi secara cepat.  Akibatnya akar tanaman dan bonggol serta pembuluhnya terinfeksi Foc.  Infeksi Foc pada tanaman pisang, akan menganggu proses penyerapan, transportasi airdan zat makanan di dalam tanah, sehingga tanamanmenjadi layu dan akhirnya mati (Maimunah,1999).

Gejala yang paling khas adalah gejala dalam pangkal batang (pseudostem). Jika pangkal batang dibelah membujur, terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju kesemua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daundan tangkai.  Perubahan warna pada berkas pembuluh paling jelas tampak pada batang.  Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah warna, namun sering sekali akar tanamansakit berwarna hitam dan membusuk (Semangun, 1996).  F. oxysporum f.sp.cubense dapat memproduksi asam fusarat, toksin ini mempengaruhi mitokondria, menghambat enzim katalase serta mempengaruhi sel yang mengakibatkan kebocoran ion dan kematian sel.
 


2.5  Ras dan Persebaran

Penyakit layu Fusarium pertama kali ditemukan menjadi endemik di daerah
Panama pada tahun 1890 yang kemudian menghancurkan pertanaman pisang
varietas Gros Michel (AAA) di Amerika Tengah dan Caribbean pada tahun 1950
dan 1960 sekarang penyakit ini sudah banyak ditemukan di daerah tropis maupun
subtropis.  Patogen Panama mempunyai4 ras yaitu ras 1 menyebabkan epidemi
pada kultivar Gros Michel dan juga menyebabkanpenyakit pada Maqueno
(genom AAB), Silk (AAB), Pome (AAB), Pisang Awak (ABB), dan hasil hibrida
“I.C.2” (AAAA).  Ras 2 menyebabkan penyakit pada jenis pisang masak seperti
kultivar Bluggoe (ABB), dan keturunan tetraploid. Ras 3 menyerang pada
Heliconiaspp.  Di daerah tropis ras 4 paling virulen yang menyerang pisang jenis
Cavendish.  Ras 4 umumnya menyerang pada tanaman di daerah dengan suhu
dingin, stress air dan pada tanah yangmiskin unsur hara (Daly, dkk, 2006).  Ras 4 akan merugikan padakultivar Cavendish dan pisang kultivar
yang lain yang sebelumnya resisten terhadap ras 1 dan 2.

Di Indonesia ras 4 dilaporkan di daerah Halmahera, Irian Jaya, Jawa, dan Sumatera.  Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi) layu Fusarium dapat mencapai 100 km per tahun.  FOC didalam tanah di sebarkan oleh aliran air, dan alat-alat serta mesin pertanian.  Klon tanaman yang rentan tidak dapat ditanam kembali hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi FOC.  Di dalam tanah FOC bertahan sebagai parasit pada tanaman gulma yang bukan inangnya.  Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang luka merupakan daerah awal utama dari infeksi  (Ploetz, 2003).

2.6  Pengendalian

Beberapa pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan cendawan Foc yaitu:
A.  Pengendalian Hayati

Cook dan Baker (1983) mengemukakan bahwa pengendalian hayati dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnyadengan: (a) manipulasi lingkungan; (b) introduksi agens antagonis; (c) introduksi patogen avirulen dan hipo-virulen alami serta mikroorganisme endofit untuk menginduksi sistem ketahanan tanaman inang.  Pemanfaatan mikroorganisme seperti plant growth promoting rhizobacteria(PGPR), Gliocladium fimbriatum dan fungi Mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agens biokontrol dalam pengendalian patogen tanaman.

Sinaga (2002) mengemukakan bahwa Gliocladiumspp. mempunyai prospek
yang tinggi sebagai agens biokontrol berbagai patogen yangmerupakan penyebab penyakit pada berbagai jenis tanaman. hasil penelitiannya , baik pengujian secara invitro maupun invivo dalam rumah kaca maupun di lapangan menunjukkan bahwa G. Fimbriatum memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan berbagai patogen terutama patogen tular tanah seperti F. oxysporum.  Gliocladium spp. juga dapat meningkatkan vigor tanaman jauh lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan Gliocladium spp.

Menurut Agrios(2005) Gliocladiumspp. dapat digunakan sebagai agens antagonis terhadap layu Fusarium melalui mekanisme antagonismenya.  Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan oleh Sinaga (2000),diketahui bahwa penggunaan Gliocladium spp.  Sebagai agens biokontrol dilapangan akan lebih optimum bila dikombinasikan dengan komponen PHT yang lain.

Memanfaatkan fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang merupakan asosiasi atau simbiosis antara tanaman dengan cendawan yang mengkolonisasi jaringan korteks akar selama periode aktif pertumbuhan tanaman.  Mikoriza dapat diklasifikasikan menjadi ektomikoriza dan endomikoriza (Handayanto & Hairiah 2007).

Arbuskel pada fungi Mikoriza arbuskula (FMA) membantu dalam mentransfer nutrea (terutama fosfat) dari tanahke sistem perakaran dan hifa mikoriza diluar akar dapat memberikan keuntungan secara fisiologis yaitu adanya perlindungan terhadap patogen akar, sepertiFusariumspp. (Rao, 2004).

Memanfaatkan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) yang merupakan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria (PGPR).  Bakteri tersebut  mengolonisasi perakaran tanaman (rhizosfer) yang memiliki kemampuan menekan pekembangan penyakit dan atau meningkatkan pertumbuhan tanaman (Nurhadiansyah, 2008).  Menurut Kloepper, dkk (1978) mengatakan bahwa kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida,antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen dan PGPR dapat menyebabkan ketahanan sistemik tanaman dari serangan patogen. PGPR yang mampu berperan sebagai agens penyebab ketahanan sistemik tersebut adalah karena perlakuan akar, tanah, atau biji dengan rhizobakteri

Cara pengendalian selanjutnya adalah solarisasi tanah yang merupakan salahsatu metode kultur teknis dalam pengendalian patogen akar (Agrios, 2005).  Solarisasi tanah merupakan suatu metode untuk menaikkan suhu tanahdengan cara menutup permukaan tanah menggunakan plastik mulsa transparan dalam hal pengendalian patogen tular tanah seperti Foc.  Metode tersebut bekerja sesuai dengan efek
greenhouse, temperatur tanah mencapai suhu 50 – 60 oC pada kedalaman 10 cm. Hal tersebut sudah cukup besar dalam mengendalikan patogen tular tanah (soil borne) (Horiuchi, 2000).  Solarisasi tanahdapat menurunkan inokulum patogen sehingga akan mengurangi potensi terjadinyapanyakit (Agrios, 2005).

Menurut Lisnawita (2003) pengusahaan pengolahan tanah sehat bertujuan
untuk memperkecil kondisi yang dapat menyebabkan tanaman stres dan
mengurangi organisme tanah yang merugikan serta meningkatkan organisme
tanah yang menguntungkan salah satunyadengan metode solarisasi tanah.  Solarisasi tanah dilakukan dengan menutuptanah dengan plasik transparan selama
6 – 8 minggu, sehingga panas matahari terperangkap dan akan menaikkan suhu
tanah.

B.  Kultur Jaringan

Menurut Murashige (1974) dalam Mattjik (2005), mengemukakan bahwa salah satu dari kegunaan teknik kultur jaringan yaitu untuk memperoleh klon yang bebas daripenyakit sistemik.  Menurut lembaga laboratotium kultur jaringan SEAMEOBIOTROP (2007) menyatakan bahwa keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit dari anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti bakteri layu Moko (Pseudomonas solanacearum) dan layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp cubense).

III.  KESIMPULAN
   
Adapun kesimpulan yang didapat dari pembuatan makalah ini adalah
1.      Fusarium oxysporum f.sp. cubense termasuk jamur tular tanah.  Patogen dapat bertahan lama dalam tanah sebagai klamidospora, yang terdapat banyak dalam akar-akar yang sakit.
2.      Hifa jamur termasuk hifa septat yaitu mempunyai dinding antar sel jamur.
3.      Daur hidup Fusarium oxysporum f.sp. cubense terdiri dari 2 fase yaitu fase patogenesis dan saprogenesis.
4.      Layu fusarium pada tanaman pisang memiliki gejala khas yaitu jika batang dibelah atau dipotong, akan terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju kesemua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daundan tangkai.
5.      Pengendalian layu fusarium bisa dengan cara kultur teknis, mekanis, biologi, dan kimia.
6.      Pengendalian yang efektif dan efisien tentu pengendalian terpadu karena akan berkesinambungan dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, GN. 2005. Plant Pathology.ed ke-5. New York: Academi Press.

Cook, R. J & Baker, K. F. 1983. The Nature and Practice of Biological CoPlant Patogen. The American Phytopathological Soceity. USA.

Departemen Pertanian. 2010. Pengendalian Penyakit Layu pada Tanaman Pisang. http://www.deptan.go.id/teknologi/horti/tpisang2.htm. Diakses tanggal 10 April 2013.

Gandjar, I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik . Depok: Yayasan Obor
Indonesia.

Handayanto, E & Hairiah K. 2007. Biologi Tanah: Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Jakarta: Pustaka Adipura.

Hermanto, C dan Setyawati, T. 2002. Pola Sebaran dan Perkembangan Penyakit Layu Fusarium pada Pisang Tanduk, Rajasere, Kepok, dan Barangan. J Hort. 12(1):64-70,2002. 7 hlm.

Horiuchi, S. 2000. Soil Solarization for Supressing Soilborne Disease in Japan. Hirosima.

Ika. 2007. Teknologi pendukung agribisnis pisang. Ika Blog. http.//ika pisang.  Diakses pada tanggal 12 Oktober 2013.

Lisnawita. 2003. Pengaruh pengelolaan Sumatera Utara: USU Digital Library.

Maimunah. 1999. Evaluasi resistensi lima kultivar pisang (Musa spp.) terhadap tiga macam isolate dan differensiasi isolate Fusarium oxysporumf.sp.cubenssebagai penyebab penyakit layu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Matjjik, N. A. 2005. Peran Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Bogor: IPB Press.

Nurhadiansyah, D. 2008. Pertumbuhan dan Keragaman Hayati Bakteri Pemacu pertumbuhan yanaman (Bacillus polymixa BG251) dan Pseudomonas flourescens Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.

Ploetz, R. C. 2003. Disease of Tropical Fruit Crops. USA: Cabi Publishing.

Sastrahidayat, I. R. 1992. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia. 365 Hal.

Sinaro, D. S. 2007. Lampung  Atasi Penyakit Pisang. Sinar Harapan 25 Oktober 2007: 5733.

Semangun, H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.Hal 556 – 56

Semangun, H. 1996. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sinaga, M. S. 1992. Biokontrol sebagai salah satu penyakit secara terpadu. Bogor: Makalah disampaikan dalam Seminar Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia cabang Bogor, 5 November 1992. Bogor. Faperta, IPB.

Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.