Monday, 8 December 2014

Produksi Tanaman Pangan



KEDELAI SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KARET BELUM MENGHASILKAN


Karet ( Hevea brasiliensis Muell. Arg ) merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting, baik untuk lingkup internasional dan teristimewa bagi Indonesia.  Karet alam merupakan salah satu hasil pertanian terkemuka di Indonesia karena banyak menunjang perekonomian negara, yaitu selain sebagai sumber devisa, perkebunan karet merupakan lapangan kerja bagi 12 juta rakyat Indonesia
( Nasution, 1995 dalam Tamburian, 1999 ).
Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan utama bernilai ekonomi tinggi karena memiliki banyak manfaat.  Tanaman ini sudah lama dikenal sebagai jenis tanaman pangan di Indonesia dan termasuk tanaman yang banyak diusahakan baik di lahan sawah, setelah pertanaman padi, maupun di lahan kering.  Permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahunnya secara langsung menuntut agar ditingkatkannya produksi kedelai di dalam negeri guna menjamin ketersediaan kedelai sebagai bahan baku berbagai produk pangan ( Deptan, 2009 dalam Fikriati, dkk, 2009 ).  Salah satu potensi pengembangan pertanaman kedelai adalah melalui tumpangsari dibawah tegakan tanaman karet ( Litbang Jambi, 2009).


Adapun nilai ganda dari penanaman kedelai sebagai tanaman sela diantara tanaman karet belum menghasilkan bagi petani adalah dapat meningkatkan produktivitas lahan ( memberikan pendapatan sebelum tanaman karet belum menghasilkan ), tanaman kedelai berfungsi sebagai tanaman penutup tanah, kebun karet jadi lebih terpelihara dan sisa panen tanaman kedelai menjadi sumber bahan organik tanah.  Namun ada pula kendala dalam usaha penanaman kedelai sebagai tanaman sela diantara tanaman karet yaitu rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan.  Naungan tersebut dapat mempengaruhi sifat morfologi dan fisiologi hasil tanaman kedelai.  Rata-rata intensitas cahaya berkurang 25 – 50% di bawah tegakan karet yang berumur 2 – 3 tahun mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter cabang, jumlah polong dan hasil biji, sehingga untuk mengatasi kendala tersebut maka dibutuhkan galur kedelai yang adaptif dan toleran terhadap intensitas cahaya rendah.


Tamburian (1999) dalam penelitiannya mencoba mengatasi kendala tersebut dengan menanam kedelai varietas Pangrango, Wilis, Malabar, dan Kerinci diantara tanaman karet klon PR 300 berumur 3 dan 4 tahun yang berjarak 6 m x 3,3 m.  Kegiatan diawali dengan pengolahan tanah antara barisan tanaman karet dengan jarak dari tanaman karet TBM-3 1 m dan TBM-4 2 m.  Pengolahan tanah menggunakan cangkul sebanyak 2 kali dan satu kali untuk perataan permukaan tanah petak, pengolahan ini dilakukan satu minggu sebelum penanaman bersamaan dengan pemberian kapur sebanyak 0,2 ton/ha.  Kedelai ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm.  Dosis pupuk yang digunakan 75 kg urea/ha, 100 kg TSP/ha, dan 100 kg KCL/ha.  Ketiga pupuk tersebut diberikan saat tanam, pembuatan alur pupuk sejauh 7,5 cm dari lubang tanam selain itu saat menanam kedelai, setelah benih dimasukkan dalam lubang tanam diberi furadan 5 – 10 butir kemudian ditutup tanah.  Pengendalian gulma dilakukan 3 minggu setelah tanam dan selanjutnya menyesuaikan keadaan gulma pada lahan.


Dari penanaman tersebut berat polong basah, berat biji kering dan berat biji bernas kedelai per m2 dan per hektar yang ditanam pada gawangan karet TBM-3 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada tanaman TBM-4, hal itu disebabkan oleh kedelai yang ditanam pada gawangan karet TBM-3 memperoleh radiasi surya yang lebih banyak akibat masih renggangnya naungan tajuk karet tanaman TBM-3 dibandingkan tanaman TBM-4.  Intensitas radiasi surya pada tanaman TBM-3 adalah 4480% setara dengan 0,40,7 kal/cm2/menit sedangkan pada tanaman TBM-4 adalah 2736% setara dengan 0,10,27 kal/cm2/menit.  Dari keempat varietas yang ditanam, varietas wilis produksi polong basah, berat biji kering dan berat biji bernas per m2 dan per hektar lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga varietas lainnya karena varietas wilis mempunyai adaptasi yang luas terhadap lingkungan tempat tumbuh terutama intensitas radiasi surya, tanah masam dan kekeringan dibandingkan ketiga varietas lainnya.  Penanaman varietas kedelai tersebut memberikan pengaruh terhadap pertambahan lilit batang tanaman karet hanya pada saat kedelai fase generatife.  Produksi yang dihasilkan pada varietas wilis mencapai 1415,985 kg biji kering.


Menurut BPTP Jambi (2009), pemupukan kedelai diantara gawangan karet diberikan saat tanaman berumur 7 HST dengan dosis Urea 25 kg/ha, SP36 100 kg/ha, dan KCL 75 kg/ha, disusul Urea 25 kg/ha saat tanaman berumur 21 HST setelah penyiangan.  Pupuk diberikan secara larikan 57 cm dari barisan tanaman, lalu larikan ditutup kembali dengan tanah. Penyiangan dilakukan secara manual.  Pengendalian hama lalat kacang, penggerek pucuk kedelai, penggulung daun, ulat grayak dan penggerek polong yang sering menyerang tanaman kedelai dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida kimia maupun nabati.  Pemanenan dapat dilakukan jika 95% polong kedelai sudah berwarna coklat kekuningan dan jumlah daun tersisa pada tanaman hanya sekitar 510%.  Setelah pemanenan kedelai dikeringkan selama 3 – 5 hari saat cuaca cerah, kemudian dilakukan pembijian ( dipukul dengan kayu ), pembersihan biji dan penyimpanan.

Referensi:
[ BPTP ] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. 2009. Kedelai Sebagai Tanaman Sela Pada Tanaman Karet Muda. http://jambi.litbang.deptan.go.id/ind/images/PDF/leafletkedele09.pdf. Diakses tanggal 19 Mei 2012 pukul 20:30WIB.

Fikriati, M., Trikoesoemaningtyas, dan D. Wirnas. 2009. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai Toleran Naungan Di Bawah Tegakan Karet Rakyat Di Kabupaten Sarolangun, Jambi. (Makalah Seminar). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tamburian, E. G. V. G. 1999. Optimalisasi Pemanfaatan Gawangan karet TBM 3 Dan TBM 4 Dengan Beberapa Varietas Kedelai Sebagai Tanaman Sela. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.