KEDELAI SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KARET
BELUM MENGHASILKAN
Karet ( Hevea brasiliensis Muell. Arg )
merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting, baik untuk lingkup
internasional dan teristimewa bagi Indonesia. Karet alam merupakan salah satu hasil pertanian
terkemuka di Indonesia karena
banyak menunjang perekonomian negara,
yaitu selain sebagai sumber devisa, perkebunan karet merupakan lapangan kerja
bagi 12 juta rakyat Indonesia
Kedelai merupakan
salah satu tanaman pangan utama bernilai ekonomi tinggi karena memiliki banyak
manfaat. Tanaman ini sudah lama dikenal sebagai jenis
tanaman pangan di Indonesia dan termasuk tanaman yang banyak diusahakan baik di
lahan sawah, setelah pertanaman padi, maupun di lahan kering. Permintaan pasar yang terus meningkat setiap
tahunnya secara langsung menuntut agar ditingkatkannya produksi kedelai di
dalam negeri guna menjamin ketersediaan kedelai sebagai bahan baku berbagai
produk pangan ( Deptan, 2009 dalam Fikriati, dkk, 2009 ). Salah
satu potensi pengembangan pertanaman kedelai adalah melalui tumpangsari dibawah
tegakan tanaman karet ( Litbang Jambi, 2009).
Adapun nilai ganda dari penanaman kedelai sebagai tanaman
sela diantara tanaman karet belum menghasilkan bagi petani adalah dapat
meningkatkan produktivitas lahan ( memberikan pendapatan sebelum tanaman karet
belum menghasilkan ), tanaman kedelai berfungsi sebagai tanaman penutup tanah,
kebun karet jadi lebih terpelihara dan sisa panen tanaman kedelai menjadi
sumber bahan organik tanah. Namun ada pula kendala dalam usaha penanaman
kedelai sebagai tanaman sela diantara tanaman karet yaitu rendahnya intensitas
cahaya akibat faktor naungan. Naungan tersebut dapat mempengaruhi sifat
morfologi dan fisiologi hasil tanaman kedelai. Rata-rata intensitas cahaya berkurang 25 – 50% di bawah
tegakan karet yang berumur 2 – 3 tahun mengakibatkan penurunan jumlah buku,
cabang, diameter cabang, jumlah polong dan hasil biji, sehingga untuk mengatasi
kendala tersebut maka dibutuhkan galur kedelai yang adaptif dan toleran
terhadap intensitas cahaya rendah.
Tamburian (1999) dalam penelitiannya mencoba mengatasi kendala
tersebut dengan menanam kedelai varietas Pangrango, Wilis, Malabar, dan Kerinci diantara tanaman karet klon PR 300
berumur 3 dan 4 tahun yang berjarak 6 m x 3,3 m. Kegiatan diawali dengan pengolahan tanah antara barisan
tanaman karet dengan jarak dari tanaman karet TBM-3 1 m dan TBM-4 2 m. Pengolahan tanah menggunakan cangkul sebanyak
2 kali dan satu kali untuk perataan permukaan tanah petak, pengolahan ini
dilakukan satu minggu sebelum penanaman bersamaan dengan pemberian kapur
sebanyak 0,2 ton/ha. Kedelai ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 25
cm. Dosis pupuk yang digunakan 75 kg urea/ha, 100
kg TSP/ha, dan 100 kg KCL/ha. Ketiga pupuk tersebut
diberikan saat tanam, pembuatan alur pupuk sejauh 7,5 cm dari lubang tanam
selain itu saat menanam kedelai, setelah benih dimasukkan dalam lubang tanam
diberi furadan 5 – 10 butir kemudian ditutup tanah. Pengendalian
gulma dilakukan 3 minggu setelah tanam dan selanjutnya menyesuaikan keadaan gulma
pada lahan.
Dari penanaman tersebut berat polong basah, berat biji
kering dan berat biji bernas kedelai per m2 dan per hektar yang
ditanam pada gawangan karet TBM-3 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi pada tanaman TBM-4, hal itu disebabkan oleh kedelai yang ditanam pada
gawangan karet TBM-3 memperoleh radiasi surya yang lebih banyak akibat masih
renggangnya naungan tajuk karet tanaman TBM-3 dibandingkan tanaman TBM-4. Intensitas
radiasi surya pada tanaman TBM-3 adalah 44 – 80%
setara dengan 0,4 – 0,7
kal/cm2/menit sedangkan pada tanaman TBM-4 adalah 27 – 36% setara dengan 0,1 – 0,27 kal/cm2/menit. Dari
keempat varietas yang ditanam, varietas wilis produksi polong basah, berat biji
kering dan berat biji bernas per m2 dan per hektar lebih tinggi
dibandingkan dengan ketiga varietas lainnya karena varietas wilis mempunyai
adaptasi yang luas terhadap lingkungan tempat tumbuh terutama intensitas
radiasi surya, tanah masam dan kekeringan dibandingkan ketiga varietas lainnya.
Penanaman varietas kedelai tersebut memberikan
pengaruh terhadap pertambahan lilit batang tanaman karet hanya pada saat
kedelai fase generatife. Produksi yang dihasilkan pada varietas wilis
mencapai 1415,985 kg biji kering.
Menurut BPTP Jambi (2009), pemupukan kedelai diantara
gawangan karet diberikan saat tanaman berumur 7 HST dengan dosis Urea 25 kg/ha,
SP36 100 kg/ha, dan KCL 75 kg/ha, disusul Urea 25 kg/ha saat tanaman berumur 21
HST setelah penyiangan. Pupuk diberikan secara larikan 5 – 7 cm dari barisan tanaman, lalu larikan ditutup
kembali dengan tanah. Penyiangan dilakukan secara manual. Pengendalian
hama lalat kacang, penggerek pucuk kedelai, penggulung daun, ulat grayak dan
penggerek polong yang sering menyerang tanaman kedelai dapat dikendalikan
dengan menggunakan pestisida kimia maupun nabati. Pemanenan
dapat dilakukan jika 95% polong kedelai sudah berwarna coklat kekuningan dan
jumlah daun tersisa pada tanaman hanya sekitar 5 – 10%. Setelah pemanenan kedelai dikeringkan selama 3 – 5 hari
saat cuaca cerah, kemudian dilakukan pembijian ( dipukul dengan kayu ),
pembersihan biji dan penyimpanan.
Referensi:
[ BPTP ] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. 2009. Kedelai Sebagai Tanaman Sela Pada Tanaman Karet
Muda. http://jambi.litbang.deptan.go.id/ind/images/PDF/leafletkedele09.pdf. Diakses tanggal 19 Mei 2012 pukul 20:30WIB.
Fikriati, M.,
Trikoesoemaningtyas, dan D. Wirnas. 2009. Uji Daya
Hasil Lanjutan Kedelai Toleran Naungan Di Bawah Tegakan Karet Rakyat Di
Kabupaten Sarolangun, Jambi. (Makalah Seminar). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tamburian, E. G. V. G. 1999. Optimalisasi
Pemanfaatan Gawangan karet TBM 3 Dan TBM 4 Dengan Beberapa Varietas Kedelai
Sebagai Tanaman Sela. (Skripsi). Institut
Pertanian Bogor. Bogor.