METODE SRI (System of Rice
Intensification)
1.1 Latar Belakang
System
of Rice Intensification adalah salah
satu inovasi metode budidaya padi yang dikembangkan sejak 1980-an oleh pastor
sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang ditugaskan di
Madagaskar sejak 1961. Awalnya SRI
adalah singkatan dari "systeme de
riziculture intensive" dan pertama kali muncul di jurnal Tropicultura
tahun 1993. Saat itu, SRI hanya dikenal
setempat dan penyebarannya terbatas.
Sejak akhir 1990-an, SRI mulai mendunia sebagai hasil usaha tidak
pantang menyerah Prof. Norman Uphoff, mantan direktur Cornell International
Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD). Tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di
luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia. Sejak itu, SRI diuji coba di lebih dari 25
negara dengan hasil panen berkisar 7-10 t/ha (Anonim, 2009).
Di Indonesia sendiri, uji coba pola/teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Uphoff, 2002; Sato, 2007 dalam Kurniadiningsih, 2011). SRI juga telah diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Wardana et al., 2005 dalam Kurniadiningsih, 2011). Selanjutnya, SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan rencana pengembangan di Irian (Papua). Sementara itu di Jawa Barat pola pendekatan SRI pertama kali dikaji di Kelompok Studi Petani (KSP) Tirta Bumi di Desa Budi Asih Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis pada tahun 2001, dengan
Di Indonesia sendiri, uji coba pola/teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Uphoff, 2002; Sato, 2007 dalam Kurniadiningsih, 2011). SRI juga telah diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Wardana et al., 2005 dalam Kurniadiningsih, 2011). Selanjutnya, SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan rencana pengembangan di Irian (Papua). Sementara itu di Jawa Barat pola pendekatan SRI pertama kali dikaji di Kelompok Studi Petani (KSP) Tirta Bumi di Desa Budi Asih Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis pada tahun 2001, dengan
memadukan praktek pemahaman Pembelajaran Ekologi Tanah (PET)
(Kuswara, 2003 dalam Kurniadiningsih, 2011).
SRI diterapkan sebagai salah satu upaya menekan penurunan
produksi. Menurut Kurniadiningsih
(2011), kebutuhan lahan dan air untuk pertanian di Indonesia cukup tersedia,
tetapi dengan adanya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan air dan lahan yang
terus meningkat, menjadikan potensi akan lahan dan kebutuhan air untuk
pertanian khususnya jadi terancam. Adanya
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan akan menyebabkan
kemunduran kemampuan lahan yang akan mengakibatkan lahan menjadi kritis bahkan
bisa menjadikan lahan rusak. Akibat dari
lahan kritis yang terjadi akan menyebabkan produktifitas menjadi rendah. Suiatna (2009), menerangkan alternatif yang
cukup menjanjikan untuk meningkatkan produksi beras adalah pola tanam SRI (System of Rice Intensification). Prinsip pola tanam SRI ini adalah (1)
Penanaman bibit muda yang kuat umur 8 – 12 hari , (2) Penanaman bibit tunggal
dan jarak antar tanaman yang lebar sekitar 25 x 25 cm atau lebih, (3) Penanaman
dengan segera kurang dari 30 menit setelah diambil dari penyemaian untuk
menghindari trauma pada bibit, (4) Penanaman dangkal tidak ditancapkan tetapi
digeserkan di atas permukaan tanah yang lembab, (5) Lahan sawah tidak terus
menerus direndam air tetapi cukup dijaga tetap lembab, (6) Penyiangan mekanis
segera dan cukup sering untuk mengendalikan gulma dan untuk aerasi tanah, (7)
Menjaga keseimbangan biologi tanah dengan pemberian bahan organik atau pupuk
organik. Semakin meningkatnya
permasalahan lingkungan hidup dan rusaknya keseimbangan alam mendorong semakin
digalakkannya pertanian organik termasuk pertanian padi yang digabungkan dengan
pola tanam SRI.
1.2 Tujuan
II. METODE SRI (System of Rice Intensification)
2.1 Prinsip Budidaya Padi Metode SRI
1.
Tanam
bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih
berdaun 2 helai.
2.
Tanam
bibit satu lubang satu bibit dengan jarak tanam lebar 30 x 30 cm, 35 x 35 cm
atau lebih jarang lagi.
3.
Pindah
tanam harus segera mungkin (kurang 30 menit) dan harus hati-hati agar akar
tidak putus dan ditanam dangkal.
4.
Pemberian
air maksimum 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah
(irigasi berselang/terputus).
5.
Penyiangan
sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2—3 kali dengan interval 10
hari. Sedapat mungkin menggunakan pupuk
organik dan pestisida organik (Suiatna, 2010).
2.2 Manfaat Dari Metode SRI
1.
Tanaman
hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen pemberian air maksimum
2 cm paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai
tanah retak (irigasi terputus).
2.
Hemat
biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha, tidak butuh biaya pencabutan bibit, tidak
butuh biaya pindah bibit, tenaga tanam berkurang, dan lain-lain.
3.
Hemat
waktu ditanam bibit muda 5—12 hari setelah semai, dan waktu panen akan lebih
awal.
4.
Produksi
meningkat di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.
5.
Ramah
lingkungan, seeara bertahap penggunaan pupuk kimia (urea, Sp36, KCI) akan
dikurangi dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang
dan MOL), begitu juga penggunaan pestisida.
2.3 Teknis Budidaya SRI
2.3.1 Penyiapan Benih
Benih diseleksi dengan bantuan penggunaan air garam dan telur
ayam/itik/bebek. Telur yang bagus umumnya dalam air akan tenggelam, namun bila
pada air ini diberi garam yang cukup dan diaduk maka telur yang bagus itu akan
mengapung. Bila telur belum juga mengapung
maka tambahkan lagi garamnya sampai telur ini mengapung karena berat jenisnya
(BJ) menjadi lebih rendah daripada air garam. Air garam yang sudah mampu
mengapungkan telur ini dapat digunakan untuk seleksi benih, langkah selanjutnya
adalah sebagai berikut :
1. Masukkan benih ke dalam air garam dan pilih hanya
benih yang tenggelam, gabah yang mengapung dapat dimanfaatkan untuk pakan ayam
atau burung.
2. Benih yang baik kemudian dicuci dengan bersih sampai
rasa asinnya hilang dari benih tersebut, juga akan lebih baik dicuci
menggunakan wadah yang berlubang dan pada air yang mengalir untuk meyakinkan
benih benar-benar akan terbebas dari garam.
3. Benih yang sudah bebas dari garam direndam dalam air
biasa selama sekitar 24 jam.
4. Setelah benih direndam, kemudian lakukan pemeraman
selama sekitar 36 jam yaitu benih di bungkus dengan karung goni atau kain yang
basah. Penyimpanan benih yang dibungkus kain basah ini akan lebih baik ditempat
yang hangat misalnya di dapur asalkan kainnya tetap dijaga basah dan lembab.
5. Setelah berkecambah atau muncul akar pendek, benih
siap disemai atau ditebar.
2.3.2 Penyemaian
Penyemaian dapat dilakukan di sawah, di ladang atau dalam wadah seperti
kotak plastik atau besek/pipiti yang diberi alas plastik/daun pisang dan berada
di area terbuka yang mendapatkan sinar matahari. Tanah untuk penyemaian tidak menggunakan tanah
sawah tetapi menggunakan tanah darat yang gembur dicampur dengan kompos dengan
perbandingan tanah:kompos sebaiknya minimal 2:1 dan akan lebih baik bila 1:1,
dapat juga ditambahkan pada campuran ini abu bakar agar medianya semakin gembur
sehingga nantinya benih semakin mudah diambil dari penyemaian untuk menghindari
putusnya akar. Luas area yang diperlukan
untuk penyemaian minimal adalah sekitar 20 m2 untuk setiap 5 kg
benih, sehingga bila penyemaian dilakukan pada wadah dapat dihitung jumlah
wadah yang diperlukan menyesuaikan dengan ukuran masing-masing wadah dan
tentunya akan lebih baik lagi bila tempat penyemaiannya lebih luas untuk pertumbuhan
benih yang lebih sehat. Untuk penyemaian
yang dilakukan di sawah atau ladang, tempat penyemaian dibuat menjadi berupa
tegalan/guludan seperti untuk penanaman sayuran dengan ketinggian tanahnya
sekitar 15 cm, lebar sebaiknya sekitar 125 cm dan seluruh pinggirannya ditahan
dengan papan, triplek atau batang pisang untuk mencegah erosi. Benih yang sudah ditebar sebaiknya kemudian
ditutup lagi dengan lapisan tipis tanah atau kompos atau abu bakar untuk mempertahankan
kelembabannya kemudian ditutup lagi dengan jerami atau daun kelapa untuk menghindari
dimakan burung dan gangguan dari air hujan sampai tumbuh tunas dengan tinggi sekitar
1 cm. Setelah dilakukan penyemaian benih-benih ini harus dirawat dengan
melakukan penyiraman setiap pagi dan sore bila tidak turun hujan. Untuk pola
tanam SRI benih siap di tanam ke sawah saat usianya belum mencapai 15 hari dan
sebaiknya antara umur 8-10 hari setelah tebar yaitu saat baru memiliki dua
helai daun.
2.3.3 Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan sawah untuk pertanian organik dengan
pola tanam SRI hampir sama dengan pada metoda konvensional. Proses awal pengolahan lahan adalah dengan
dibajak (sunda: waluku) untuk membalikkan tanah dan memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan
juga menghancurkan gulma setelah sebelumnya lahan digenangi air selama beberapa
hari agar tanahnya menjadi lunak. Proses
ini dapat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kerbau atau sapi
maupun secara modern dengan menggunakan traktor. Bila diperlukan setelah pembajakan pertama
lahan sawah dibiarkan tergenang beberapa hari dan kemudian dilakukan pembajakan
kedua. Kedalaman dari pelumpuran lahan
turut menentukan pertumbuhan tanaman dan sebaiknya kedalaman pelumpuran
tersebut setidaknya mencapai 30 cm. Pekerjaan
selanjutnya adalah memperbaiki pematang sawah (sunda: mopok) agar lahan sawah
tidak bocor dan tidak ditumbuhi tanaman liar untuk menghindari tikus bersarang
di pematang sawah ini. Perbaikan
pematang sawah dilakukan bersamaan dengan pekerjaan pencangkulan untuk bagian
sawah yang tidak dapat dijangkau oleh pembajakan yang biasanya berada di bagian
pojok sawah (sunda: mojok). Kompos dapat
ditebarkan sebelum pekerjaan penggaruan (sunda: ngangler) sehingga pada saat
digaru kompos dapat bercampur dengan tanah sawah atau juga dapat ditebar
setelah proses pembajakan, intinya adalah kompos dapat tercampur dengan tanah
sawah secara merata dan tidak terbuang terbawa aliran air. Penggaruan selain
untuk makin memperhalus butiran tanah sehingga menjadi lumpur juga sekaligus
bertujuan untuk meratakan lahan. Jumlah kompos yang cukup ideal adalah sebanyak
1 kg untuk setiap 1 m2 luas lahan. Perataan lahan merupakan proses yang sangat
penting karena lahan harus benar-benar rata dan datar sehingga akan memudahkan
dalam pengaturan air nantinya sesuai dengan keperluan. Selanjutnya area
penanaman padi dibuat dalam barisbaris atau petakan yang dipisahkan dengan
jalur pengairan dengan lebar petakan sekitar 2m agar memudahkan dan meratakan rembesan
air ke seluruh area tanaman padi selain untuk lebih memudahkan saat penanaman
dimana petani yang melakukan penanaman posisinya berada di saluran air di kedua
sisi petakan. Pekerjaan terakhir di lahan untuk persiapan penanaman adalah pembuatan
tanda lokasi penanaman bibit yang berjarak minimal 25 cm atau lebih
(pencaplakan). Dengan teraturnya penanaman padi akan memudahkan dalam
penyiangan secara mekanis pada waktu pemeliharaan. Penandaan titik penanaman
ini selain dengan membuat garis-garis di tanah menggunakan alat yang bisa dibuat
secara sederhana dari kayu atau bambu dapat juga menggunakan tali yang diberi
tanda.
2.3.4 Penanaman
Pada pola tanam SRI benih diperlakukan dengan lembut dan hatihati. Bibit
yang ditanam di persemaian sawah atau ladang tidak boleh diambil dengan cara
dicabut atau ditarik tetapi dengan cara di keduk bagian bawah tanahnya sehingga
tanahnya ikut terbawa. Kemudian tempatkan kumpulan bibit ini dalam suatu wadah misalkan
pelepah pisang, bambu atau lainnya untuk di bawa ke tempat penanaman.
Pemindahan harus dilakukan secepat mungkin dalam waktu sekitar 30 menit atau
lebih baik lagi dalam waktu 15 menit untuk menghindari trauma dan shok. Untuk
bibit yang ditanam menggunakan wadah akan lebih mudah membawanya ke tempat
penanaman. Bibit dipilih yang sehat diantara cirinya adalah lebih tinggi/ besar
dan daunnya lebih tegak ke atas atau daunnya tidak terlalu terkulai. Penanaman
padi dilakukan secara dangkal dan hanya cukup satu sampai 3 bibit untuk satu
titik. Bibit ditanamkan dengan menggesernya di atas permukaan tanah, yang lebih
mudah menggunakan jari jempol dan telunjuk. Sisa dari bibit dapat ditanam
tunggal dibagian terluar diantara tanaman padi lainnya dari tiap petakan
sebagai cadangan bila di kemudian hari ada tanaman yang tidak baik tumbuhnya.
Penyulaman dilakukan menggunakan tanaman yang disiapkan sebagai cadangan di
antara tanaman utama atau mengambil dari rumpun yang sewaktu ditanam berasal
dari 2 atau 3 bibit.
2.3.5 Perawatan
Tanaman padi yang terawat akan memberikan hasil panen yang jauh lebih baik
daripada padi di sawah yang biarkan begitu saja. Air diatur agar hanya
macak-macak atau mengalir di saluran air saja, perendaman lahan selama beberapa
saat dilakukan bila lahan sawah terlihat kering dan adanya retakan halus pada
tanah. Penanganan gulma dilakukan dengan penyiangan mekanis sampai gulma
tersebut tercabut dari tanah untuk kemudian dibenamkan menggunakan tangan atau
kaki sedalam mungkin agar tidak mampu tumbuh lagi. Dari setiap proses
penyiangan mekanis ini dapat diharapkan nantinya ada penambahan hasil panen
satu atau bahkan dua ton per hektarnya sehingga nilai tambah dari penyiangan
ini sebenarnya cukup tinggi. Sebelum penyiangan tanah sebaiknya direndam untuk
melunakkan tanah dan setelah dilakukan penyiangan air kembali dibuang dan sawah
dalam keadaan macak-macak. Untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik
dari gulma maka perlu dilakukan penyemprotan MOL (mikro-organisma lokal)
setelah proses penyiangan. Penyemprotan MOL di arahkan ke tanah bukan ke
tanaman karena maksudnya adalah penambahan jumlah bakteri pengurai ke dalam tanah
untuk melakukan proses dekomposisi bahan organik. MOL ini dapat juga di campur
dengan pupuk organik cair (POC) untuk memberikan tambahan unsur hara ke dalam
tanah. Konsentrasi larutan untuk penyemprotan baik MOL, POC maupun campuran MOL
dan POC jangan terlalu pekat untuk menghindari terjadinya proses dekomposisi
yang berlebihan pada tanah yang mengakibatkan akan menguningnya tanaman untuk
sementara karena unsur N yang ada dipergunakan oleh bakteri pengurai untuk
aktivitasnya. Proses dekomposisi yang berlebihan pun akan terjadi bila
menggunakan pupuk kandang atau daun-daunan segar secara langsung ke sawah tanpa
proses pengkomposan diluar sawah sehingga tidak baik bila diaplikasikan pada
sawah yang sudah ada tanaman padinya. Oleh karenanya resiko penggunaan MOL atau
POC yang berlebihan atau terlalu pekat tetap ada tetapi jauh lebih ringan
daripada penggunaan bahan kimia. Untuk lahan sawah yang penggunaan komposnya di
bawah jumlah ideal sebaiknya pemakaian POC di tingkatkan jumlahnya. Interval penyiangan
mekanis normalnya dilakukan setiap 10 hari sekali tetapi harus segera
dilaksanakan bila ada indikasi pertumbuhan gulma sebelum gulma ini semakin
tinggi sehingga semakin sulit dihilangkan. Penyemprotan POC kaya N dapat
dilakukan pada usia padi 20 hari setelah semai (hss), 30 hss, 40 hss dan 50
hss. Namun penyemprotan POC kaya N ini dapat dilakukan kapanpun juga bila diperlukan
pada kondisi padi terlihat mengalami kahat/kekurangan N dengan gejala daun
menguning terutama antara 40 hss – 60 hss. Gabungan POC kaya P dan K
disemprotkan 2 atau 3 kali saat padi sudah memasuki usia sekitar 70 hss untuk memperbaiki
kualitas pengisian gabah dengan interval penyemprotan 10 hari. Frekuensi
penyemprotan POC dapat disesuaikan dengan kondisi di lapangan berdasarkan
pengamatan dari pertumbuhan tanaman. Penyemprotan POC atau MOL harus dilakukan
dalam kondisi lahan tidak tergenang dan diusahakan pada saat padi mulai
berbunga penyemprotan POC sudah dihentikan agar tidak mengganggu proses
penyerbukan. Penanganan organisma pengganggu tanaman (OPT) berupa hama/penyakit
dilakukan dengan penggunaan atau penyemprotan pestisida nabati/pestisida
organik lokal (POL) yang diarahkan ke tanaman. Penyemprotan dapat dilakukan
sebagai usaha preventif/pencegahan secara berkala ataupun untuk penanggulangan.
Saat mulai muncul malai lahan digenangi air setinggi sekitar 1 – 2 cm dari
permukaan tanah secara terus menerus sampai saat padi sudah mulai terisi.
Aliran air kemudian dihentikan samasekali atau lahan dikeringkan seterusnya
ketika bulir padi sudah terisi.
2.3.6 Pemanenan
Panen dilakukan saat padi mencapai umur panen sesuai deskripsi untuk
masing-masing varietas dihitung dari saat tebar/semai di penyemaian atau
sekitar 30-35 hari setelah berbunga atau ketika sekitar 90% padi sudah
menguning. Hindari pemanenan pada saat udara mendung atau gerimis.
III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari makalah tentang metode tanam SRI yaitu metode
tanam SRI selain memberi keuntungan untuk petani karena meningkatkan hasil,
metode ini cenderung ramah lingkungan jadi dengan menerapkan metode tanam SRI
diasumsikan telah menjalankan program pertanian yang berkelanjutan. Namun, dilihat dari bibit yang siap ditanam
(umur kurang dari atau sama dengan 12 hari) memungkinkan akan terserang keong
emas. Solusi yang di rekomendasikan
untuk menangani serangan keong emas dapat membuat semacam parit diantara
tegalan dan dalam parit tersebut dapat dipasang umpan daun pepaya, setelah
keong terkumpul pada daun pepaya bisa diambil sebagai pakan ternak atau di olah
sebagai lauk. Selain cara tersebut, dapat
menggunakan biji aren yang ditumbuk untuk meracuni keong emas atau langsung
melepas itik di persawahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Tehnik dan Budidaya Penanaman Padi System of Rice
Intensification (SRI). Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna. 12 hlm.
Kurniadiningsih, Y. 2011. Evaluasi Untung Rugi Penerapan Metode SRI (System
of Rice Intensification) dI D.I. Cihea Kabupaten Cianjur Jawa Barat. (Karya
Ilmiah). Institut Teknologi Bandung. Bandung. 16 hlm.
Suiatna, R.U. 2009. Pertanian Padi Organik Pola Tanam SRI dan Aplikasinya
di Lapangan. Karya Ilmiah. Dipublikasikan pada International Conference &
Exhibition : Science & Technology in Biomass Production (ICEBP) SITH
ITB, 25 – 26 November 2009. 7 hlm.
Suiatna, R.U. 2010. Pola Tanam SRI. Penerbit Ganesha. 10 hlm.