Tuesday, 9 December 2014

Dasar-dasar budidaya tanaman



METODE SRI (System of Rice Intensification)




1.1  Latar Belakang


System of Rice Intensification adalah salah satu inovasi metode budidaya padi yang dikembangkan sejak 1980-an oleh pastor sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang ditugaskan di Madagaskar sejak 1961.  Awalnya SRI adalah singkatan dari "systeme de riziculture intensive" dan pertama kali muncul di jurnal Tropicultura tahun 1993.  Saat itu, SRI hanya dikenal setempat dan penyebarannya terbatas.  Sejak akhir 1990-an, SRI mulai mendunia sebagai hasil usaha tidak pantang menyerah Prof. Norman Uphoff, mantan direktur Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD).  Tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia.  Sejak itu, SRI diuji coba di lebih dari 25 negara dengan hasil panen berkisar 7-10 t/ha (Anonim, 2009).
Di Indonesia sendiri, uji coba pola/teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Uphoff, 2002; Sato, 2007 dalam Kurniadiningsih, 2011).  SRI juga telah diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Wardana et al., 2005 dalam Kurniadiningsih, 2011).  Selanjutnya, SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan rencana pengembangan di Irian (Papua).  Sementara itu di Jawa Barat pola pendekatan SRI pertama kali dikaji di Kelompok Studi Petani (KSP) Tirta Bumi di Desa Budi Asih Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis pada tahun 2001, dengan


memadukan praktek pemahaman Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) (Kuswara, 2003 dalam Kurniadiningsih, 2011). 

SRI diterapkan sebagai salah satu upaya menekan penurunan produksi.  Menurut Kurniadiningsih (2011), kebutuhan lahan dan air untuk pertanian di Indonesia cukup tersedia, tetapi dengan adanya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan air dan lahan yang terus meningkat, menjadikan potensi akan lahan dan kebutuhan air untuk pertanian khususnya jadi terancam.  Adanya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan akan menyebabkan kemunduran kemampuan lahan yang akan mengakibatkan lahan menjadi kritis bahkan bisa menjadikan lahan rusak.  Akibat dari lahan kritis yang terjadi akan menyebabkan produktifitas menjadi rendah.  Suiatna (2009), menerangkan alternatif yang cukup menjanjikan untuk meningkatkan produksi beras adalah pola tanam SRI (System of Rice Intensification).  Prinsip pola tanam SRI ini adalah (1) Penanaman bibit muda yang kuat umur 8 – 12 hari , (2) Penanaman bibit tunggal dan jarak antar tanaman yang lebar sekitar 25 x 25 cm atau lebih, (3) Penanaman dengan segera kurang dari 30 menit setelah diambil dari penyemaian untuk menghindari trauma pada bibit, (4) Penanaman dangkal tidak ditancapkan tetapi digeserkan di atas permukaan tanah yang lembab, (5) Lahan sawah tidak terus menerus direndam air tetapi cukup dijaga tetap lembab, (6) Penyiangan mekanis segera dan cukup sering untuk mengendalikan gulma dan untuk aerasi tanah, (7) Menjaga keseimbangan biologi tanah dengan pemberian bahan organik atau pupuk organik.   Semakin meningkatnya permasalahan lingkungan hidup dan rusaknya keseimbangan alam mendorong semakin digalakkannya pertanian organik termasuk pertanian padi yang digabungkan dengan pola tanam SRI.

1.2  Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang metode SRI pada pertanaman padi kepada para pembaca.



II.  METODE SRI (System of Rice Intensification)


2.1  Prinsip Budidaya Padi Metode SRI

1.      Tanam bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih berdaun 2 helai.
2.      Tanam bibit satu lubang satu bibit dengan jarak tanam lebar 30 x 30 cm, 35 x 35 cm atau lebih jarang lagi.
3.      Pindah tanam harus segera mungkin (kurang 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal.
4.      Pemberian air maksimum 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah (irigasi berselang/terputus).
5.      Penyiangan sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2—3 kali dengan interval 10 hari.  Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik dan pestisida organik (Suiatna, 2010).

2.2  Manfaat Dari Metode SRI


1.      Tanaman hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen pemberian air maksimum 2 cm paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2.      Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha, tidak butuh biaya pencabutan bibit, tidak butuh biaya pindah bibit, tenaga tanam berkurang, dan lain-lain.
3.      Hemat waktu ditanam bibit muda 5—12 hari setelah semai, dan waktu panen akan lebih awal.
4.      Produksi meningkat di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.


5.      Ramah lingkungan, seeara bertahap penggunaan pupuk kimia (urea, Sp36, KCI) akan dikurangi dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan MOL), begitu juga penggunaan pestisida.


2.3  Teknis Budidaya SRI

2.3.1  Penyiapan Benih

Benih diseleksi dengan bantuan penggunaan air garam dan telur ayam/itik/bebek. Telur yang bagus umumnya dalam air akan tenggelam, namun bila pada air ini diberi garam yang cukup dan diaduk maka telur yang bagus itu akan mengapung.  Bila telur belum juga mengapung maka tambahkan lagi garamnya sampai telur ini mengapung karena berat jenisnya (BJ) menjadi lebih rendah daripada air garam. Air garam yang sudah mampu mengapungkan telur ini dapat digunakan untuk seleksi benih, langkah selanjutnya adalah sebagai berikut :

1.      Masukkan benih ke dalam air garam dan pilih hanya benih yang tenggelam, gabah yang mengapung dapat dimanfaatkan untuk pakan ayam atau burung.
2.      Benih yang baik kemudian dicuci dengan bersih sampai rasa asinnya hilang dari benih tersebut, juga akan lebih baik dicuci menggunakan wadah yang berlubang dan pada air yang mengalir untuk meyakinkan benih benar-benar akan terbebas dari garam.
3.      Benih yang sudah bebas dari garam direndam dalam air biasa selama sekitar 24 jam.
4.      Setelah benih direndam, kemudian lakukan pemeraman selama sekitar 36 jam yaitu benih di bungkus dengan karung goni atau kain yang basah. Penyimpanan benih yang dibungkus kain basah ini akan lebih baik ditempat yang hangat misalnya di dapur asalkan kainnya tetap dijaga basah dan lembab.
5.      Setelah berkecambah atau muncul akar pendek, benih siap disemai atau ditebar.


2.3.2  Penyemaian

Penyemaian dapat dilakukan di sawah, di ladang atau dalam wadah seperti kotak plastik atau besek/pipiti yang diberi alas plastik/daun pisang dan berada di area terbuka yang mendapatkan sinar matahari.  Tanah untuk penyemaian tidak menggunakan tanah sawah tetapi menggunakan tanah darat yang gembur dicampur dengan kompos dengan perbandingan tanah:kompos sebaiknya minimal 2:1 dan akan lebih baik bila 1:1, dapat juga ditambahkan pada campuran ini abu bakar agar medianya semakin gembur sehingga nantinya benih semakin mudah diambil dari penyemaian untuk menghindari putusnya akar.  Luas area yang diperlukan untuk penyemaian minimal adalah sekitar 20 m2 untuk setiap 5 kg benih, sehingga bila penyemaian dilakukan pada wadah dapat dihitung jumlah wadah yang diperlukan menyesuaikan dengan ukuran masing-masing wadah dan tentunya akan lebih baik lagi bila tempat penyemaiannya lebih luas untuk pertumbuhan benih yang lebih sehat.  Untuk penyemaian yang dilakukan di sawah atau ladang, tempat penyemaian dibuat menjadi berupa tegalan/guludan seperti untuk penanaman sayuran dengan ketinggian tanahnya sekitar 15 cm, lebar sebaiknya sekitar 125 cm dan seluruh pinggirannya ditahan dengan papan, triplek atau batang pisang untuk mencegah erosi.  Benih yang sudah ditebar sebaiknya kemudian ditutup lagi dengan lapisan tipis tanah atau kompos atau abu bakar untuk mempertahankan kelembabannya kemudian ditutup lagi dengan jerami atau daun kelapa untuk menghindari dimakan burung dan gangguan dari air hujan sampai tumbuh tunas dengan tinggi sekitar 1 cm. Setelah dilakukan penyemaian benih-benih ini harus dirawat dengan melakukan penyiraman setiap pagi dan sore bila tidak turun hujan. Untuk pola tanam SRI benih siap di tanam ke sawah saat usianya belum mencapai 15 hari dan sebaiknya antara umur 8-10 hari setelah tebar yaitu saat baru memiliki dua helai daun.


2.3.3  Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan sawah untuk pertanian organik dengan pola tanam SRI hampir sama dengan pada metoda konvensional.  Proses awal pengolahan lahan adalah dengan dibajak (sunda: waluku) untuk membalikkan tanah dan memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan juga menghancurkan gulma setelah sebelumnya lahan digenangi air selama beberapa hari agar tanahnya menjadi lunak.  Proses ini dapat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kerbau atau sapi maupun secara modern dengan menggunakan traktor.  Bila diperlukan setelah pembajakan pertama lahan sawah dibiarkan tergenang beberapa hari dan kemudian dilakukan pembajakan kedua.  Kedalaman dari pelumpuran lahan turut menentukan pertumbuhan tanaman dan sebaiknya kedalaman pelumpuran tersebut setidaknya mencapai 30 cm.  Pekerjaan selanjutnya adalah memperbaiki pematang sawah (sunda: mopok) agar lahan sawah tidak bocor dan tidak ditumbuhi tanaman liar untuk menghindari tikus bersarang di pematang sawah ini.  Perbaikan pematang sawah dilakukan bersamaan dengan pekerjaan pencangkulan untuk bagian sawah yang tidak dapat dijangkau oleh pembajakan yang biasanya berada di bagian pojok sawah (sunda: mojok).  Kompos dapat ditebarkan sebelum pekerjaan penggaruan (sunda: ngangler) sehingga pada saat digaru kompos dapat bercampur dengan tanah sawah atau juga dapat ditebar setelah proses pembajakan, intinya adalah kompos dapat tercampur dengan tanah sawah secara merata dan tidak terbuang terbawa aliran air. Penggaruan selain untuk makin memperhalus butiran tanah sehingga menjadi lumpur juga sekaligus bertujuan untuk meratakan lahan. Jumlah kompos yang cukup ideal adalah sebanyak 1 kg untuk setiap 1 m2 luas lahan. Perataan lahan merupakan proses yang sangat penting karena lahan harus benar-benar rata dan datar sehingga akan memudahkan dalam pengaturan air nantinya sesuai dengan keperluan. Selanjutnya area penanaman padi dibuat dalam barisbaris atau petakan yang dipisahkan dengan jalur pengairan dengan lebar petakan sekitar 2m agar memudahkan dan meratakan rembesan air ke seluruh area tanaman padi selain untuk lebih memudahkan saat penanaman dimana petani yang melakukan penanaman posisinya berada di saluran air di kedua sisi petakan. Pekerjaan terakhir di lahan untuk persiapan penanaman adalah pembuatan tanda lokasi penanaman bibit yang berjarak minimal 25 cm atau lebih (pencaplakan). Dengan teraturnya penanaman padi akan memudahkan dalam penyiangan secara mekanis pada waktu pemeliharaan. Penandaan titik penanaman ini selain dengan membuat garis-garis di tanah menggunakan alat yang bisa dibuat secara sederhana dari kayu atau bambu dapat juga menggunakan tali yang diberi tanda.


2.3.4  Penanaman

Pada pola tanam SRI benih diperlakukan dengan lembut dan hatihati. Bibit yang ditanam di persemaian sawah atau ladang tidak boleh diambil dengan cara dicabut atau ditarik tetapi dengan cara di keduk bagian bawah tanahnya sehingga tanahnya ikut terbawa. Kemudian tempatkan kumpulan bibit ini dalam suatu wadah misalkan pelepah pisang, bambu atau lainnya untuk di bawa ke tempat penanaman. Pemindahan harus dilakukan secepat mungkin dalam waktu sekitar 30 menit atau lebih baik lagi dalam waktu 15 menit untuk menghindari trauma dan shok. Untuk bibit yang ditanam menggunakan wadah akan lebih mudah membawanya ke tempat penanaman. Bibit dipilih yang sehat diantara cirinya adalah lebih tinggi/ besar dan daunnya lebih tegak ke atas atau daunnya tidak terlalu terkulai. Penanaman padi dilakukan secara dangkal dan hanya cukup satu sampai 3 bibit untuk satu titik. Bibit ditanamkan dengan menggesernya di atas permukaan tanah, yang lebih mudah menggunakan jari jempol dan telunjuk. Sisa dari bibit dapat ditanam tunggal dibagian terluar diantara tanaman padi lainnya dari tiap petakan sebagai cadangan bila di kemudian hari ada tanaman yang tidak baik tumbuhnya. Penyulaman dilakukan menggunakan tanaman yang disiapkan sebagai cadangan di antara tanaman utama atau mengambil dari rumpun yang sewaktu ditanam berasal dari 2 atau 3 bibit.


2.3.5  Perawatan

Tanaman padi yang terawat akan memberikan hasil panen yang jauh lebih baik daripada padi di sawah yang biarkan begitu saja. Air diatur agar hanya macak-macak atau mengalir di saluran air saja, perendaman lahan selama beberapa saat dilakukan bila lahan sawah terlihat kering dan adanya retakan halus pada tanah. Penanganan gulma dilakukan dengan penyiangan mekanis sampai gulma tersebut tercabut dari tanah untuk kemudian dibenamkan menggunakan tangan atau kaki sedalam mungkin agar tidak mampu tumbuh lagi. Dari setiap proses penyiangan mekanis ini dapat diharapkan nantinya ada penambahan hasil panen satu atau bahkan dua ton per hektarnya sehingga nilai tambah dari penyiangan ini sebenarnya cukup tinggi. Sebelum penyiangan tanah sebaiknya direndam untuk melunakkan tanah dan setelah dilakukan penyiangan air kembali dibuang dan sawah dalam keadaan macak-macak. Untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik dari gulma maka perlu dilakukan penyemprotan MOL (mikro-organisma lokal) setelah proses penyiangan. Penyemprotan MOL di arahkan ke tanah bukan ke tanaman karena maksudnya adalah penambahan jumlah bakteri pengurai ke dalam tanah untuk melakukan proses dekomposisi bahan organik. MOL ini dapat juga di campur dengan pupuk organik cair (POC) untuk memberikan tambahan unsur hara ke dalam tanah. Konsentrasi larutan untuk penyemprotan baik MOL, POC maupun campuran MOL dan POC jangan terlalu pekat untuk menghindari terjadinya proses dekomposisi yang berlebihan pada tanah yang mengakibatkan akan menguningnya tanaman untuk sementara karena unsur N yang ada dipergunakan oleh bakteri pengurai untuk aktivitasnya. Proses dekomposisi yang berlebihan pun akan terjadi bila menggunakan pupuk kandang atau daun-daunan segar secara langsung ke sawah tanpa proses pengkomposan diluar sawah sehingga tidak baik bila diaplikasikan pada sawah yang sudah ada tanaman padinya. Oleh karenanya resiko penggunaan MOL atau POC yang berlebihan atau terlalu pekat tetap ada tetapi jauh lebih ringan daripada penggunaan bahan kimia. Untuk lahan sawah yang penggunaan komposnya di bawah jumlah ideal sebaiknya pemakaian POC di tingkatkan jumlahnya. Interval penyiangan mekanis normalnya dilakukan setiap 10 hari sekali tetapi harus segera dilaksanakan bila ada indikasi pertumbuhan gulma sebelum gulma ini semakin tinggi sehingga semakin sulit dihilangkan. Penyemprotan POC kaya N dapat dilakukan pada usia padi 20 hari setelah semai (hss), 30 hss, 40 hss dan 50 hss. Namun penyemprotan POC kaya N ini dapat dilakukan kapanpun juga bila diperlukan pada kondisi padi terlihat mengalami kahat/kekurangan N dengan gejala daun menguning terutama antara 40 hss – 60 hss. Gabungan POC kaya P dan K disemprotkan 2 atau 3 kali saat padi sudah memasuki usia sekitar 70 hss untuk memperbaiki kualitas pengisian gabah dengan interval penyemprotan 10 hari. Frekuensi penyemprotan POC dapat disesuaikan dengan kondisi di lapangan berdasarkan pengamatan dari pertumbuhan tanaman. Penyemprotan POC atau MOL harus dilakukan dalam kondisi lahan tidak tergenang dan diusahakan pada saat padi mulai berbunga penyemprotan POC sudah dihentikan agar tidak mengganggu proses penyerbukan. Penanganan organisma pengganggu tanaman (OPT) berupa hama/penyakit dilakukan dengan penggunaan atau penyemprotan pestisida nabati/pestisida organik lokal (POL) yang diarahkan ke tanaman. Penyemprotan dapat dilakukan sebagai usaha preventif/pencegahan secara berkala ataupun untuk penanggulangan. Saat mulai muncul malai lahan digenangi air setinggi sekitar 1 – 2 cm dari permukaan tanah secara terus menerus sampai saat padi sudah mulai terisi. Aliran air kemudian dihentikan samasekali atau lahan dikeringkan seterusnya ketika bulir padi sudah terisi.





2.3.6  Pemanenan

Panen dilakukan saat padi mencapai umur panen sesuai deskripsi untuk masing-masing varietas dihitung dari saat tebar/semai di penyemaian atau sekitar 30-35 hari setelah berbunga atau ketika sekitar 90% padi sudah menguning. Hindari pemanenan pada saat udara mendung atau gerimis.


III.  KESIMPULAN


Kesimpulan yang diperoleh dari makalah tentang metode tanam SRI yaitu metode tanam SRI selain memberi keuntungan untuk petani karena meningkatkan hasil, metode ini cenderung ramah lingkungan jadi dengan menerapkan metode tanam SRI diasumsikan telah menjalankan program pertanian yang berkelanjutan.  Namun, dilihat dari bibit yang siap ditanam (umur kurang dari atau sama dengan 12 hari) memungkinkan akan terserang keong emas.  Solusi yang di rekomendasikan untuk menangani serangan keong emas dapat membuat semacam parit diantara tegalan dan dalam parit tersebut dapat dipasang umpan daun pepaya, setelah keong terkumpul pada daun pepaya bisa diambil sebagai pakan ternak atau di olah sebagai lauk.  Selain cara tersebut, dapat menggunakan biji aren yang ditumbuk untuk meracuni keong emas atau langsung melepas itik di persawahan.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2009. Tehnik dan Budidaya Penanaman Padi System of Rice Intensification (SRI). Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna. 12 hlm.

Kurniadiningsih, Y. 2011. Evaluasi Untung Rugi Penerapan Metode SRI (System of Rice Intensification) dI D.I. Cihea Kabupaten Cianjur Jawa Barat. (Karya Ilmiah). Institut Teknologi Bandung. Bandung. 16 hlm.

Suiatna, R.U. 2009. Pertanian Padi Organik Pola Tanam SRI dan Aplikasinya di Lapangan. Karya Ilmiah. Dipublikasikan pada International Conference & Exhibition : Science & Technology in Biomass Production (ICEBP) SITH ITB, 25 – 26 November 2009. 7 hlm.

Suiatna, R.U. 2010. Pola Tanam SRI. Penerbit Ganesha. 10 hlm.