Penyakit ini umumnya
menyerang tanaman jagung varietas rentan hama penyakit dan umur muda (1
– 2 Minggu Setelah Tanam) maka kehilangan hasil akibat infeksi penyakit ini
dapat mencapai 100% (Puso). Nah,
penyebabnya adalah jamur Peronosclerospora spp. Spesies jamur yang
berkembang di Indonesia antara lain yaitu P.
Maydis, P. Philippinensis, dan P.sorgi.
Gejala khas bulai adalah adanya warna klorotik
memanjang sejajar tulang daun dengan batas yang jelas antara daun sehat. Pada daun permukaan atas dan bawah terdapat
warna putih seperti tepung dan ini sangat jelas pada pagi hari. Selanjutnya pertumbuhan tanaman jagung akan
terhambat, termasuk pembentukan tongkol, bahkan tongkol tidak terbentuk,
daun-daun menggulung dan terpuntir serta bunga jantan berubah menjadi massa
daun yang berlebihan. Di waktu pagi hari pada sisi bawah daun terdapat lapisan beledu
putih yang terdiri dari konidiofor dan konidium. Konidium yang masih muda berbentuk bulat, dan
yang sudah masak dapat menjadi jorong, dengan ukuran 12 – 19 x 10 – 23 μm
dengan rata-rata 19,2 x 17,0 μm untuk P. maydis sedangkan untuk P.
philippinensis ukuran konidiofornya 260 – 580 μm, konidiumnya berukuran 14
– 55 x 8 – 20 μm dengan rata-rata 33,0 x 13,3 μm. Adanya benang-benang cendawan dalam ruang
antarselnya maka daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan lebih tegak
(Semangun, 2004;Surtikanti, 2012). Tanaman
waktu terinfeksi masih sangat muda, biasanya tanaman tidak membentuk buah,
tetapi bila terjadi pada tanaman yang lebih tua tanaman dapat tumbuh terus dan
membentuk buah. Buah yang terbentuk
sering mempunyai tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup pada
ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji. Bila cendawan didaun terinfeksi pertama kali
tidak dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun sebagai
garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai gejala lokal (Semangun,1968;Semangun,
2004;Surtikanti, 2012).
Jamur ini bersifat obligat (hanya dapat hidup pada jaringan tanaman
hidup) dan tidak dapat bertahan hidup pada sisa tanaman mati, dan tidak terdapat
tanda-tanda bahwa jamur bertahan dalam tanah.
Badan Litbang Pertanian (2012) menyebutkan bahwa proses infeksi Peronosclrospora spp. dimulai dari konidia
jatuh dan tumbuh di permukaan daun jagung serta berkembang membentuk
appressoria lalu masuk ke dalam jaringan tanaman muda melalui stomata,
selanjutnya terjadi lesion lokal dan berkembang sampai ke titik tumbuh,
menyebabkan infeksi sistemik sehingga terbentuk gejala bulai.
Jika
jamur tersebut obligat, kok masih bisa muncul tiap nanem jagung? Sahabat perlu tahu bahwa jamur tersebut
memiliki inang alternatif untuk bertahan hidup.
Menurut Badan Litbang Pertanian (2012) beberapa jenis inang alternatif penyakit bulai selain tanaman jagung
di antaranya adalah Avena sativa (oat), Digitaria spp.(jampang
merah), Euchlaena spp.(jagung liar), Heteropogon contartus, Panicum
spp.(jewawut), Setaria spp., Saccharum spp., Sorghum spp., Pennisetum
sp., dan Zea mays.
Pengendalian penyakit bulai dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu:
1.
Periode bebas tanaman jagung selama
periode 2 – 4 minggu.
2.
Penanaman secara serempak selesai
dalam waktu 1 – 2 minggu.
3.
Eradikasi (pencabutan) tanaman
terserang penyakit bulai disekitar lokasi yang akan ditanami jagung.
4.
Penanaman varitas jagung yang tahan
terhadap penyakit bulai seperti BISI-8-16, BMD-2, dan BIMA-3 (Wakman, 2008), Bima2,
Bima5, dan Bima10 (Talanca, 2011), surya, Lagaligo, Sukmaraga, dan varietas
hibrida P 12,
P 10,
P9 dan
P5 (Soenartiningsih
dan A. Talanca, 2010).
5.
Penanaman jagung pada awal musim
hujan memungkinkan tidak adanya serangan bulai, ini diduga karena setelah musim
kemarau tanaman yang mungkin menjadi inang bulai di lapangan tidak ada,
sehingga potensi menyebarnya juga rendah (Pakki, dkk, 2005).
6.
Pemanfataan fungisida nabati yaitu ekstrak
daun seraiwangi (Sekarsari, dkk, 2013).
Nah,
itulah coretan tentang penyakit bulai pada jagung. Semoga bermanfaat sahabat,,,
Referensi:
Badan
Litbang Pertanian. 2012. Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung dan Teknik
Pengendaliannya. (Sinartani Edisi 25-31 Januari 2012 No.3441 Tahun XLI). 4
hlm.
Surtikanti.
2012. Penyakit bulai pada tanaman jagung. Superman : Suara Perlindungan
Tanaman. 2(1): 41 – 48.
Wakman,
W. 2008. Pengendalian penyakit bulai pada jagung di Bengkayang KalBar. (Prosiding
Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi
Selatan, 5 Nopember 2008). 7 hlm.
Talanca, A. H. 2011. Reaksi beberapa varietas jagung hibrida
terhadap penyakit bulai. (Seminar Nasional serealia 2011). Balai
Penelitian Tanaman Serealia. 4 hlm.
Pakki,
S., A.H Talanca, dan Gusnawaty. 2005. Sebaran penyakit bulai (Peronosclerospora
sp.) pada beberapa sentra pertanian jagung di Sulawesi Selatan. (Prosiding
Seminar Nasional Jagung, 2005). 7 hlm.
Soenartiningsih dan A.
Talanca. 2010. Penyebaran penyakit bulai (Peronosclerospora maydis) pada
jagung di kabupaten Kediri. (Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan
PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010). 5 hlm.
Sekarsari,
R. A., J. Prasetyo, dan T. Maryono. 2013. Pengaruh beberapa fungisida nabati
terhadap keterjadian penyakit bulai pada jagung manis (Zea mays saccharata).
J. Agrotek Tropika. 1(1): 98 – 101.
Gejala penyakit bulai pada tanaman jagung |