Tahukah sahabat, bahwa penyakit itu gak selamanya merugikan lhoo...
Berawal
dari kekepoan saya tentang bunga tulip yang penyakitan justru
nilai jualnya tinggi, saya menemukan jurnal yang menguak tentang gaharu
yang penyakitan pun justru menguntungkan. Nah, jadi kalau sahabat ditanya adakah
penyakit yang menguntungkan secara ekonomi jawabnya ada. Disini saya ingin berbagi wacana tentang
gaharunya ya sahabat soalnya,,,saya belum menemukan artikel atau jurnal
yang pas tentang tulip yang berpenyakit layu fusarium. Sedikit membaca dari jurnal Lestari dkk.
(2006) yang mengutip dari Nelson dkk. (1981) menyatakan bahwa penyebab penyakit
pada bunga tulip disebabkan oleh Fusarium oxysporum. Gejalanya bunga tulip yang bercorak atau
belang-belang itu lho sahabat.
Oke,
langsung cuss ngepoin gaharu yok.
Jika dilihat dari wujudnya, gubal gaharu merupakan gumpalan berbentuk
padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum (jika dibakar)
yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil
gaharu. Proses terbentuknya gubal gaharu
secara alami umumnya membutuhkan waktu yang lama. Para peneliti mencoba menemukan solusi agar
gaharu dapat berproduksi secara optimal.
Penelitian Iskandar & Suhendra (2012) melaporkan potensi Fusarium
sp. sebagai pemicu pembentukan gubal gaharu.
Gubal
yang dihasilkan oleh pohon gaharu adalah respon dari masuknya patogen ke dalam
jaringan dan menginfeksi pohon penghasl gaharu.
Pohon yang terinfeksi merespon dengan menghasilkan suatu senyawa
fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit akibat serangan
patogen tersebut, pohon akan menghasilkan metabolit sekunder atau senyawa resin
yang menyebabkan bau wangi ketika di bakar (Sitepu dkk., 2011 dalam Iskandar
& Suhendra, 2012).
Referensi:
Iskandar, D
& A. Suhendra. 2012. Uji inokulasi Fusarium sp. untuk produksi
gaharu pada budidaya A. beccariana. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 14(3): 182–188.
Lestari, E.G.,
D. Sukmadjaja, & I. Mariska. 2006. Perbaikan ketahanan tanaman panili
terhadap penyakit layu melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang
Pertanian
25 (4): 149–153.